Breaking News

Minggu, 09 Desember 2012

REZEKI.......

Sebagai orang yang beragama, memahami rezeki yang hadir di tangan kita tidaklah semata-mata melalui upaya diri dan manajemen. Al Ghozali berkata, betapa banyak orang yang tidak memahami manajemen, beker¬ja sedikit namun rezekinya melimpah, di sisi lain, orang yang “nyungsang-nyungseb” mencari rezeki siang dan malam, tetapi kadang rezeki itu terasa seret sekali. Apakah kemudian rezeki itu berada dalam manajemen kita? Ternyata tidak! Ia ada dalam manajemen Allah swt. Allahlah yang bertanggung jawab terhadap rezeki makhluqnya, sedangkan manusia hanya melulu ‘beribadah’ yang diaplikasikan ibadahanya baik ketika berikh¬tiar, memohon, berharap dan berusaha sekuat tenaga lillaahi ta’aala dalam ikhtiarnya. Sampai di sini, segala hasil merupakan tang¬gung jawab Allah swt. Namun demikian sekelumit ilmu yang diajarkan Rasulullah saw ternyata sangat bermanfaat. Barang siapa yang memahami misteri itu, niscaya bisa bersikap qonaah dan tenang. Kemudian rezeki akan hadir tanpa diduga-duga, tanpa dipusingkan dan tanpa membawa resah dan gelisah. Sebuah riwayat hadits yang ditulis dalam buku Adabudunya Waddin (etika kehidupan dan beragama) Rasulullah saw bersabda: Rasulullah saw bersabda: “Antara seorang hamba dan rezeki terdapat sebuah tabir (hijab); barangsiapa yang bersikap terhadap rezeki itu menerima de¬ngan tulus ikhlas (qona’ah) dan bersikap tenang-tenang saja (iqtishad) maka rezeki itu akan datang dengan sendirinya; sedangkan siapa yang mencoba untuk merusak tabir rezeki itu maka jangan harap bertambah.” Hadits ini menerangkan tentang tabir (hijab) rezeki. Sehingga benarlah bahwa rezeki itu merupa¬kan misteri sebab ia memiliki pembatas antara kita dengannya. Kita dilarang coba-coba merobek tirai tersebut. Adapun upaya memper¬kokoh tirai rezeki itu dengan dua cara: Qonaah dan Iqtishod. Pertama, dengan Qonaah Sebagaimana hadits di atas, menerima rezeki dengan qonaah sama artinya dengan menerima apa adanya rezeki yang hadir dengan penuh keikhlasan dan suka cita. Ketika mendapatkan rezeki besar atau sedikit disambut dengan sikap amat amat girang. Namun kegirangan ini hanya ditampakkan di sisi Allah swt tidak kepada manusia. Inilah yang disebut oleh Syekh Nawawi dengan qona’ah. Qona’ah sendiri sama dengan sikap kafafah. Kedua sifat ini merupakan tindakan yang paling baik dalam menyikapi. Rasulullah saw bersabda: Dari Abdulalh bin ‘Amr bin ‘ash bahwa Rasulullah saw. Bersabda: “Sungguh beruntung orang yang selamat. Ia diberi rizki dengan berkecukupan dan Allah merelakan apa yang diterimanya. Ketika mensyarakhi (memperjelas) hadits ini, Syekh Nawawi mengartikan kafafah atau qona’ah dengan ungkapan: Kaffaf adalah sikap merasa cukup dengan rezkinya tanpa menuntut lebih dan kurang. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian madzhab: Sikap merasa cukup ini lebih utama dari pada kondisi orang yang kaya atau miskin. Kedua, dengan Iqtishod Cara kedua menjaga agar tirai tetap kokoh adalah dengan sikap iqtishod. Maknanya adalah ia akan berada di pertengahan. Menurut Al Hasan dalam tafsir al Qurthubi, Muqtasid adalah orang mukmin yang tetap kokoh memegang tauhid dan taat. Artinya, boleh jadi, dalam menyikapi rezeki tidak akan mengurangi nilai taat dan keimanannya. Dengan demikian ia akan tenang-tenang saja dalam menyikapi rezeki tersebut. Jika sempit atau lapang rezeki, ia te¬nang-tenang saja tidak mengadukannya kepada manusia. Sebab bila coba-coba membe¬ber¬kan kesu¬sahan¬nya pada manusia itu berarti merobek dinding rezeki. Sebagaimana peringatan Rasulullah saw siapa yang membuka kesusahan kepada Allah artinya ia siap untuk tetap fakir. (dikutip dari hadits no. 2247 Sunan Turmudzi) Bersabda Rasulullah saw: ….. dan janganlah seorang hamba Allah membuka pintu masalah kepada orang lain (tentang kesusahannya) sebab niscaya Allah akan membuka pintu kemiskinan atau kalimat yang sejenisnya (kesusahan, kesulitan, kerupekan, kedholiman dll.). Menurut Abu Isa, hadits ini hasan shoheh. Dengan membuka masalah kepada orang lain, berarti ia berusaha merobek dan merusak tirai (hijab) rezeki tersebut). Karena itu sikap terbaik adalah mempertahankan sikap iqtishad. Untuk melatih sikap iqtishod ini ada baiknya mengikuti saran Rasulullah saw makmur dari mu. Sebab hal itu merupakan sifat yang terbaik agar jangan sampai memandang rendah ni’mat Allah swt.” Menurut Ibnu Jarir dalam Syarkh An Nawawi, hadits tersebut adalah kesimpulan yang terbaik. Sebab tabiat manusia dalam urusan dunia, apa¬bi¬la melihat orang yang lebih makmur darinya, ia akan berusaha menyamainya. Kemu¬dian meng¬anggap rendah nikmat Allah swt. yang ada pada dirinya. Karenanya, ia akan berusaha lebih rakus lagi (tamak) untuk menyamai saingannya atau setidaknya tidak jauh-jauh amat bedanya. Menurut Syekh Nawawi, itulah tabiat manusia pada umumnya. Sebaliknya, kata Syekh Nawawi, dalam urusan dunia, jika melihat orang lain memperoleh kenikmatan, maka yang terlihat adalah karunia Allah yang besar. Ia lalu menysukurinya, kemu¬dian tetap bertawadlu dan tetap berlaku baik. Kata An Nawawi, sikap inilah yang utama dalam menyikapi rezeki. Sebaik Umat Adapun sebaik-baik Umat dalam menyikapi masalah rezeki adalah sebagaimana yang digambarkan oleh Rasululah saw. Menjadi orang yang menerima (rela) jika tidak diberi dan menjadi orang yang meminta jika tak berpunya. Dikutip dari buku “adabuddunya waddin” Rasululullah saw bersabda: “Sebaik-baik umatku adalah orang yang tidak diberi lalu dia menerima dan tidak berpunya kemudian ia meminta.” Mengambil Deposito Amal Yang dimaksud sikap menerima dan meminta dalam hadits tersebut adalah ditujukan kepada Allah swt semata. Sikap meminta kepada Allah jelas merupakan perintah langsung dari Allah swt: Ud’uunii astajib lakum “Memohonlah kepada-Ku niscaya Aku beri” (Al Mukmin 60). Namun yang menjadi catatan di sini adalah bahwa orang tidak akan salah alamat ketika meminta kepada Allah manakala ia banyak menabung amal-amal perbuatanya pada rekening Allah Subhanahu Wata’ala. Namun jika menabung amal-amalnya bukan kepada Allah mengapa meminta kepada-Nya inikan aneh bin ajaib. Logikanya, hal ini sama bila depositonya di Bank BCA, tetapi ketika mengambil, memintanya pada Bank BNI tentu ini salah alamat. Hal ini sama artinya, jika segala amal-amalnya baik ucapan, pikiran dan tindakan. Pokoknya segala ibadah mahdhoh (amal vertikal) maupun ghoiru mahdzhoh (amal horizontal) diniatkan semata-mata untuk Allah (lillaahi ta’alaa), niscaya ketika hendak meminta bagian (bunga deposito amal) itu kepada Allah yakin pasti tidak salah alamat. Namun jika bukan lillaahi ta’alaa, mengapa memintanya kepada Allah? Seolah-olah Allah menyuruh untuk mengambilnya kepada yang lain. Karenanya, berarti siap-siap ia tidak menerima bonus spesial dari Allah swt, baik ketika di dunia maupun di akherat. Na’udzu bilalhi min dzaalik. Wallau a’lam bimurodih. Sumber: Al qur’an , Al Bayan (Hadits), Tafsir Al Qurthubi, Adabudunya Waddin, Kutubussittah, Tuhfatul Akhwadzi bisyarhil bukhory, Shohih Muslim bisyarkhinnawawy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By